Kamis, 11 Agustus 2022

Istirahat Seminar

Credit: Unsplash by Becca Tapert

Ketika waktu istirahat seminar tiba, aku tidak menunggu sedetik pun lebih lama untuk keluar ruangan. Kutanya pada salah seorang penjaga pintu. Di mana letaknya toilet? Ia menggerakkan tangannya dengan cepat. Ke kanan mentok, lalu kiri.

Kiri kanan dan kiri kanan. Aku melangkah cepat. Pintu toilet kubuka tak sabar. Aku tak berniat membantingnya namun kudengar aku membantingnya. Entahlah, aku tidak begitu memperhatikan. Kumasuki bilik toilet, dan tanpa menutup pintunya, kuangkat tutup toilet. Lalu aku muntah.

Beberapa detik kulalui tanpa akal sehat yang terasa. Tubuhku diperkosa dari dalam oleh sarapan pagi tadi. Lantas aku bersembunyi di kepala dan membayangkan dua hal.

Pertama, bahwa sebenarnya bukan aku yang muntah, tapi seorang perempuan cantik. Mari jadikan ia Yuni, rekan kerjaku. Siapa Yuni rekan kerjaku?

Nama lengkapnya Yuni Hartanti. Orang Banjarnegara kelahiran 87. Hatinya baik, perilakunya bak perawan. Ia memiliki rambut hitam yang terlihat kemerahan di bawah sinar matahari... sebelum ia mengecatnya pirang. Kalau rambut kemaluannya aku tidak tahu. Ia tidak tinggi, ukuran sepatu dan otaknya tidak besar, tapi ukuran dadanya besar.

Yuni telah bekerja di kantor sebelum aku. Meski kami ada di divisi berbeda—aku humas, dia marketing—mataku tidak gagal jatuh padanya. Perempuan manis dengan potongan rambut sebahu yang begitu menggemaskan. Kulit kepalanya yang putih selalu terlihat mengintip dari sela belahan rambutnya. Dan rambutnya—jangan sampai aku mulai tentang kualitasnya. Betul-betul kelas atas. Aroma samponya adalah narkoba buatku. Begitu lembut, menari-nari tiap kali kepala yang ditumbuhinya bergerak. Seperti rumput yang ditiup angin ketika padang sedang lebat-lebatnya. Di beberapa kesempatan ketika aku berdiri di dekatnya, lututku melemas. Aku selalu membayangkan untuk menyentuh rambut itu dengan kemaluanku. Aku ingin menyelimuti penisku dalam balutan helai-helai rambutnya. Aku ingin memompa keluar diriku dengan rambut-rambut itu. Aku ingin memancarkan air maniku ke atas mereka, dan meratakannya ke seluruh permukaan. Aku ingin membuat mereka lengket menjadi satu. Menempelkan aroma zatku kepadanya, yang takkan mungkin pudar lagi seberapa banyak pun mandi yang ia lakukan. Sayang sekali rambut itu sudah tidak perawan. Aku mengutuk orang yang memberinya ide untuk mengecatnya.

Sampai hari ini, kadang-kadang masih terlintas saja bayangan untuk memasukkan beberapa helai rambutnya ke dalam saluran kencingku. Kurasakan ujungnya yang lancip menyelinap masuk menuju bagian tak terlihat dari diriku. Aku merasakan helai-helai itu menjadi satu dengan tubuhku. Di tengah-tengah tindakan itu, aku akan merasa ingin pipis. Maka aku pipis di wajahnya. Ia akan membuka mulut, menelan air seniku secara malu-malu. Kepala, sekujur tubuhnya kukencingi. Bau pesing dari pipisku akan menjadi aroma tubuhnya yang baru. Ia akan mengingatku tiap kali ia mengambil napas. Dan aku akan membayangkan wajahnya tiap kali aku melihat toilet. Kami tidak akan lagi jadi sekadar teman kantor. Kami akan jadi lebih dari teman kantor.

Kedua, aku membayangkan diriku adalah penjaga perpustakaan di kampusku dulu.

Aku dikelilingi sekumpulan mahasiswa wanita dengan buku-buku tebal di tangan mereka. Beberapa dari mereka memeluknya erat di dada. Membuat kontak antara payudara dengan paperback. Aku membayangkan kontak antara puting wanita dengan sehelai kertas; bagaimama ia tergelitik oleh partikel-partikel kecil yang lepas dari permukaan kertas; bagaimana partikel-partikel itu menyatu dan menjadi bagian dari puting wanita.

Mereka bermaksud meminjam buku-buku yang mereka pegang. Mata mereka menatap lekat ke wajahku, ke pergerakan tanganku yang ke sana kemari, ke apa yang kulakukan di komputer. Burungku terpaksa berdiri. Memenuhi ruang celana dalam yang sebelumnya lapang. Aku terkejut betapa mudahnya aku dapat mengeluarkan kemaluanku di depan mereka semua. Jika aku menginginkannya. Karena itu aku tersiksa dengan aksi penahanan diri yang mesti kulakukan terus menerus.

Ketika mereka menyodorkan buku dan kartu mahasiswa mereka, aku selalu berhasil membuat kontak dengan kulit mereka yang surgawi. Permukaannya begitu lembut, rasanya nyaris seperti tak menyentuh apapun. Jika aku membiarkan diriku larut dalam sensasi itu, aku dapat lari dari segalanya.

Aku selalu ingin menjilat foto mereka yang terpampang di kartu. Aku selalu tergelitik memikirkan bagaimana mereka dapat memasang tatapan serius yang mengeluarkan kewibawaan itu padahal mereka hanyalah para jalang. Selain itu, aku juga ingin menutupi lembar-lembar di buku dengan cairanku, menempelkannya di sana hingga tak ada lagi sains dan pengetahuan. Tidak ada lagi ilmu. Aku ingin mengganti tatanan sosial yang menuhankan ilmu menjadi tatanan sosial yang menuhankan cairan kemaluanku. Aku ingin menghabiskan waktu berdua dengan seorang mahasiswi di ruang komputer. Bersama menonton film porno tanpa khawatir terekam CCTV. Aku ingin mengulum lidahnya hingga ia tak bisa bernapas. Aku ingin membuatnya bercinta denganku di atas kursi.

"Bapak penjaga perpustakaan yang baik, aku sesungguhnya begitu mencintai bapak hingga aku tak tahan tak disentuh bapak satu detik saja dalam hidupku setelah ini. Aku tidak ingin lagi berada di depan bapak dalam kekang pakaian. Aku ingin bercinta dengan bapak di perpustakaan, di ruang komputer perpustakaan, di gudang perpustakaan, di antara rak-rak buku, di sebelah mahasiswa yang sedang belajar, di tengah teman-temanku yang mengerjakan tugas, di depan dosen pembimbing skripsiku kelak, di depan Bu Maryam, di depan Bapak Rocky Gerung, di atas kuburan Munir, dan di toilet perempuan juga laki-laki, maupun meja sirkulasi. Di lapangan kampus. Di depan tiang bendera. Di depan khalayak kampus yang sedang upacara peringatan Hari Bela Negara. Aku ingin bapak memasukkan burung bapak ke sela-sela intiku. Angkat aku ke hadapan tuhan dengan candu yang lebih mematikan dari agama. Buat aku menjadi udara yang bapak hirup. Seperti meminjam buku, aku ingin bapak mengizinkanku untuk meminjam beberapa waktu dalam hidup bapak untuk membuatku menjadi mahasiswa yang lebih baik. Aku ingin membangun jembatan yang tak mampu putus, menghubungkan generasi terdahulu dan generasiku. Aku ingin jadi martir, oh bapak penjaga perpustakaan yang baik! Jadikan aku martir. Jadikan aku selain hamba. Jadikan aku simbol bagi kematangan sekaligus kemurnian. Aku mesum dan aku ingin setiap bagian tubuhku bapak sodok. Apakah mungkin menjadi penuh tanpa menjadi habis? Hanya bapak yang mampu membuatku penuh tanpa menjadi habis.”

Mereka masih mengelilingiku dengan tatapan seperti anak kucing. Tidakkah mereka pada dasarnya hanya orang-orang yang memaksa diri untuk melakukan hal yang tak mereka inginkan? Mereka ingin mengisap kemaluanku dan membiarkan dirinya kupenetrasi sepanjang hidup mereka; dan lihatlah, mereka pura-pura ingin jadi orang pintar. Pinjam buku tebal-tebal, bahkan yang berbahasa asing. Siapa yang kalian bodohi? Perilaku kalian hanya membuatku ingin muntah di wajah kalian.

Setalah aku muntah dan kembali ke ruang seminar, aku menyadari sesuatu. Bahwa sebenarnya segala upaya dan percobaan untuk mengusahakan sesuatu adalah sumber dari keinginan untuk berupaya dan berusaha itu sendiri. Maka, sebenarnya dorongan terbaik bagi seseorang adalah paksaan. Seperti muntah, buang air, atau pemerkosaan. Tidakkah hal-hal itu asyik dilakukan jika kau membiarkan dirimu lepas dalam paksaan? Setidaknya, itu kesimpulan yang kudapat dan kupercayai, sampai hari terhapusnya bintang-bintang nanti.

Istirahat Seminar

Credit: Unsplash by Becca Tapert Ketika waktu istirahat seminar tiba, aku tidak menunggu sedetik pun lebih lama untuk keluar ruangan. Kutany...